Semua orang menikah dengan ide bahwa ini akan bertahan selamanya. Tapi karena satu dan lain hal, terkadang selamanya itu rasanya sangat jauh dan mustahil diraih. Kalau sudah begini, salahkah kalau berpikir untuk berpisah? Atau sebaiknya bertahan dengan segala permasalahan dan kesesakannya?
Pernikahan itu adalah hal yang menurut saya sangat complicated. Saya bahkan selalu berkata bahwa marriage is the beginning of all hell, yang pernah saya post di blog ini beberapa waktu yg lalu.
Baca: Marriage is the beginning of all hell
Setau saya sih gak ada orang menikah dengan tujuan untuk berpisah. Yang ada sih, impian untuk hidup ala film princess-princess Disney: and they live happily ever after. Walaupun sah aja sih punya impian begitu, tapi konsep ini menurut saya kok bikin sesat. Kenapa bikin sesat? Karena kesannya menikah adalah jawaban dari semua persoalan hidup. Seakan semua penderitaan dan permasalah hidup akan berakhir ketika kita bertemu dengan sang prince charming dan menikah untuk live happily ever after. Saya sendiri kalau menonton drama Korea atau film apapun, diam-diam selalu berharap tokoh utamanya berakhir dalam pernikahan. Karena itu berarti mereka bahagia. Nah lho! Memangnya kalau gak menikah terus gak bahagia? Terus apa kabarnya pasangan yang setelah menikah ternyata malah menderita karena KDRT, perselingkuhan, dan berbagai masalah serius lain? Sayangnya, gak pernah ada yg tau apakah Cinderella dan semua princess Disney itu baik-baik aja hidupnya setelah menikah.
Gara-gara konsep seperti ini, banyak pernikahan yang terkesan dipaksakan. Perempuan terkesan harus segera menikah ketika umurnya dianggap cukup. Kalau ada perempuan dewasa yang belum menikah di usia 30-an, banyak orang merasa kasihan dan terdorong untuk mencarikan jodoh. Biar bahagia maksudnya.. Ketika ada anak bermasalah dan tergolong tidak jelas jalan hidupnya, banyak jg yang mengusulkan untuk menikahkan saja anak tersebut. Biar belajar bertanggung jawab dan belajar menata hidupnya, karena sudah punya tanggungan. Kalau buat saya, itu sama aja dengan mengorbankan anak orang lain demi anak kita yang belum tentu beneran bisa tanggung jawab. Lha kalau makin gak karuan hidupnya, gimana dong?
Yang paling konyol menurut saya, adalah banyaknya orang yang memilih bertahan dalam pernikahan yang terang-terang bermasalah, karena memperjuangkan konsep sehidup semati sampai akhir. Saya sama sekali gak berpikir berjuang mempertahankan pernikahan itu salah lho. Tapi, memang ada pernikahan yang buat saya gak perlu diperjuangkan. Misalnya, kalau salah satu pihak sudah keberatan untuk bertahan, dan terang-terangan memilih orang lain, apa pihak satunya harus bertahan dan menerima kembali pasangannya yang sebetulnya sama sekali gak mau kembali? Lalu kalau terjadi banyak kekerasan, baik fisik maupun verbal, apa memang harus bertahan menerima semua siksaan demi sehidup semati? Itu sih hidup nggak, mati iya. Sebesar apapun hormat saya terhadap lembaga pernikahan dan komitmennya, saya masih berpikir bahwa kewarasan kita juga penting. Bagaimana kita bisa bahagia kalau pernikahan ini membuat kita gak waras? Bagaimana caranya bahagia kalau sehari-hari lebih ingin nangis dan mati aja? Temen saya pernah berkata kalau perceraian sama aja dengan melarikan diri. Karena perceraian juga tidak menjamin kebahagiaan. Betul sih. Tapi kalau perceraian bisa membuat kita sedikit bernapas lega, dan bebas dari mimpi buruk, kenapa nggak? Banyak juga kok pasangan yang hidup baik-baik dan rukun setelah bercerai.
Masalahnya, penghakiman dari keluarga, teman, dan lingkungan juga luar biasa kejam. Sehingga rasanya perceraian itu jadi hal yang luar biasa salah dan penuh dosa. Alasan yang paling sering dipakai adalah komitmen pernikahan, dan juga anak (kalau memang ada anak). Tapi sebagai anak yang pernah merasakan hidup bersama orang tua yang cekcok nonstop selama beberapa waktu, percayalah, bertahan demi anak mungkin juga bukan alasan yang tepat. Tentu saya lebih suka kalau orang tua saya tidak bercerai (dan mereka memang tidak berakhir dengan perceraian), tapi jujur ada saat ketika saya berharap kalau memang bercerai membuat mereka berdamai, saya lebih pilih mereka bercerai. Kalau dilihat kembali, saya sebetulnya juga stress berat dengan kondisi rumah. Siapa sih yang secara psikologis bisa sehat kalau kondisi di rumah penuh kelabu? Tante saya pernah berkomentar, saya gak berakhir gila aja sebetulnya luar biasa. Dan waktu itu saya sudah cukup dewasa. Bayangkan efeknya bagi anak-anak yang lebih muda..
Jadi, teman-teman di luar sana yang masih single sementara umur sudah merangkak naik, enjoy your life, be grateful with what you have. Percayalah kalau memang sudah waktunya untuk menikah, you will find the one. Jangan menikah karena semua orang bilang sudah waktunya. It's your life, your time. Bagi teman-teman yang sedang berpikir untuk berpisah, mundurlah sejenak, dan lihat semuanya dari perspektif yang berbeda, dengan kepala yang dingin. Kalau memang tidak bisa diusahakan, it's really okay to say goodbye. The point is, this is your life. You decide what you want to do about it, because you define your own happiness. Kalau kita beruntung ada di luar lingkaran ini, mungkin kita perlu belajar untuk tidak menghakimi orang lain yang ada dalam situasi ini, termasuk menghakimi setiap keputusan yang mereka ambil. It's not even our life. So, who are we to judge?
Wrote by Unknown