Sejak libur hari raya bulan lalu, saya masih kebanjiran undangan reuni. Entah yang levelnya kecil-kecilan, sampai yang embel-embelnya akbar. Dan mulai bulan lalu juga, banyak status galau reuni atau bahkan galau pulang kampung di media sosial. Semua berujung ke kekuatiran akan adanya serangan "Kapan": kapan lulus, kapan nikah, kapan punya jodoh, kapan punya anak, kapan kerja, dan sejuta kapan lagi. Serangan "kapan" ini bahkan sampai dibuat meme versi jawabannya di banyak media sosial, menandakan kalau kegaulauan ini sebenarnya adalah kegalauan massal, bukan lagi individual. Lha terus, kalau yang galau aja berjamaah, kenapa juga serangan "kapan" ini masih terus eksis? Sepertinya serangan ini meminjam semangatnya Bruce Willis, alias Die Hard. Susah kali matinya...
Saya sendiri jujurnya bukan penggemar reuni. Ternyata, reuni membuat saya berpikir dan cemas terhadap kekurangan saya yang mungkin jadi bahan kritikan yang lain. Mulai dari status sosial, bentuk badan yang semrawut, jenis pekerjaan, sampai masalah anak. Tiba-tiba saya jadi cemas dengan diri saya sendiri, dan semua pencapaian saya selama ini jadi hilang artinya. Kalau sebelumnya saya baik-baik aja dan sangat nyaman dengan diri saya sendiri, tiba-tiba saya jadi merasa kalau ternyata semua gak baik-baik aja. It's just not good enough. Saya gak cukup pintar, gak cukup cantik, gak cukup kaya, gak cukup berhasil, dll. Berlanjut dengan punyeng mikir apa yang bisa jadi bahan pembicaraan ketika reuni nanti, terutama karena basa-basinya biasanya gak enak di hati karena akan berkutat di masalah yang gak akan nyaman dibicarakan buat saya. Lebih gak enak lagi kalo yang ngomentarin sebetulnya juga gak kenal-kenal amat, tapi packagingnya lebih ciamik dari saya. Langsung galau tingkat dewa..
Lalu saya berpikir, kenapa reuni dengan beberapa kelompok teman tertentu tidak setraumatis ini efeknya? Kenapa hanya beberapa reuni aja yang bikin saya nyaris kena serangan jantung saking cemasnya? Setelah saya pikir-pikir, ternyata biasanya, teman yang hubungannya dekat walaupun jarang bertemu, akan dengan tulus senang aja bisa ketemu setelah sekian lama. Jenis pertanyaannya juga gak akan berkutat di basa-basi yang menampar harga diri, tapi lebih ke update progress yang agak ketinggalan berita. Mungkin juga karena hubungannya gak pernah benar-benar putus. Mungkin masih sering kontak lewat instant messaging ataupun medsos. Yang biasanya ngasih pertanyaan menohok ataupun menyudutkan seringkali malah teman yang jarang kontak, cuma sekedar kenal atau pernah sekelas, tapi muncul-muncul merasa kenal dan maunya sok akrab tapi suka salah arah. Ya ada sih yang kenal tetep nyolot. Namanya juga manusia.
Kalau sudah begini, saya pikir rasanya gak bakal rampung kalau berharap serangan "kenapa" itu gak bakal muncul. Wong sepertinya udah naluri orang untuk kepo. Berharap teman-teman saya gak bakal seperti itu sepertinya juga susah kalau saya gak memastikan diri saya sendiri gak bakal seperti itu. Saya mau mulai dari diri saya sendiri dulu aja, untuk mengembalikan tujuan reuni ke asalnya, untuk menjalin persahabatan dan persaudaraan yang sudah pernah diawali di masa lalu. Dan sudah layak dan sepantasnya reuni berhenti jadi sekedar ajang nostalgia masa lalu dan ajang pamer masa kini. Tidakkah harusnya reuni menjadi rumah bersama, tempat berbagi ide demi masa depan? Masa lalu mau diratapi atau dibangga-banggakan juga buat apa, wong ya udah lewat. Gak bisa dirubah juga. Tapi masa depan kan masih bisa dibuat lebih baik. Daripada konsentrasi di apa yg gak kita miliki sekarang, atau apapun kekurangan kita, gak bisakah kita berkonsentrasi ke apa yang kita punya dan apa yang bisa kita lakukan untuk masa depan kita dan generasi berikutnya? Jadi mungkin besok-besok serangan "kapan" masih ada, tapi bentuknya jadi: kapan kita mau bergerak dan berbuat lebih?
Dan semoga aja, makin banyak orang-orang yang galau reuni seperti saya, yang akhirnya jadi dengan gembira datang, tanpa takut terhakimi.
Wrote by Unknown