#4 Is strong = being powerful?
image source: http://www.inspirationalquoteslog.com |
Ketika sedang berada di titik terendah dalam hidup, nasihat yang sering kita dengar ataupun kita doktrin ke diri sendiri adalah: stay strong. Coba kalo ada keluarga yang meninggal, ada gitu yg sms atau bilang: "selamat yaaa..","be happy", atau lebih parah, "akhirnya yaaa.." (mulai kebanyakan nonton film psikopat). Yang ada biasanya: "yang tabah ya..", "yang kuat ya.."
Sebetulnya, yang kuat itu kayak gimana sih? Banyak yg mikir kalo kekuatan itu harus ditunjukkan dengan otot, atau ketiadaan emosi. Air mata sering dikaitkan dengan kelemahan. Apa iya begitu? Gak tau juga ya pendapat orang. Tapi sebagai orang yang cukup punya jam terbang di area sedih, nelangsa, sakit hati, dan patah hati, saya berpendapat bahwa kuat itu bukan berarti gak punya emosi. Kuat versi saya itu, tau kapan harus menangis, tau kapan harus berhenti. Ketika orang tua saya meninggal, banyak yang bilang saya dingin karena jarang yang melihat saya berderaian air mata. Bukan sok kuat, tapi saat itu saya harus mengurus banyak hal untuk kremasi, dan juga memastikan tamu-tamu yang datang disambut dengan baik. Kalo saya sibuk gerung-gerung sambil semaput tiap dua detik, kan ya rempong banget.
Intinya sih, take your time, cry your heart out if you need it, but then rise and shine. Seperti kata Bob Moore yang dikutip banyak orang:
“My strength did not come from lifting weights. My strength came from lifting myself up when I was knocked down.”
Tags:
#30harimenulis
My reflections
0 komentar