Sering gak sih kita lihat orang-orang yang mengaku sangat nyaman dengan jati dirinya, tapi rempong bandar mikirin pendapat orang tentang dirinya? Sadar ataupun nggak, setiap orang punya hasrat untuk bisa diterima dalam lingkungan tertentu. Dan terkadang, butuh usaha yang luar biasa untuk bisa masuk ke lingkungan tertentu dan jadi bagian di dalamnya. Liat aja di sekitar kita. Banyak banget orang-orang yang bersliweran dengan dandanan yang 'template'. Pas lagi demam grup band tertentu, semua anak muda rambutnya njiplak personil bandnya. Kalo gak, ntar dikira gak gahol. Cewek-cewek masa kini juga penampilannya senada seirama. Rambut panjang terurai, baju fashionable warna-warni plus sepatu lucu-lucu. Kadang templatenya gak berhenti sampe soal fashion, tapi merembet ke hobi, kebiasaan, media sosial yg dipunyai, sampe gadget yang dipake. Kalo beda dgn yg lain, rasanya kayak pesakitan yg layak dijauhi. Berapa kali kita denger komen dan label 'aneh', 'ndeso' ditempelkan ke orang-orang yang gak pake smartphone, gak punya akun media sosial, dan gak hangout di tempat yg lagi happening dan jadi pembicaraan orang banyak. Padahal kan ya belum tentu alasannya gak valid. Tapi label dan cap udah terlanjur menempel. Seakan publik berhak menghakimi orang lain yang memilih untuk berbeda.
Apa salah kalo berbeda? Jessica Hagy di bukunya yang berjudul "How to be Interesting. Cara Menjadi Menarik Dalam 10 Langkah Sederhana" mengungkapkan pentingnya menampilkan ciri khas kita, karena perbedaan itulah yang menunjukkan identitas kita sebenarnya. Memperlihatkan ciri khas di depan umum berarti menjadi diri kita yang sesungguhnya (2013:85). Padahal kenyataannya, banyak orang yang merasa dirinya kurang baik, dan perlu menyembunyikan diri dan menyamakan diri dengan yang lain agar diterima. Masih banyak orang yang merasa bersalah karena berbeda, dan masih banyak orang merasa berhak menghakimi orang lain karena perbedaan mereka.
Kalo buat saya pribadi, penting menemukan tempat yang bisa membuat saya merasa nyaman, seperti apapun saya. Bukan berarti saya kekeuh anti perubahan, tapi perubahan yang saya lakukan sebisa mungkin tidak menghilangkan esensi siapa saya yang sebenarnya. Saya gak akan tiba-tiba pake rok bergaya mbak-mbak hanya karena profesi saya,
plus saya kayak banci kalo pake rok. Saya juga gak akan latah pake baju girly-girly kayak wanita masa kini.
Selain emang bajunya gak ada yang cukup ukurannya. Kalo emang saya nyaman pake jeans ke kantor, ya saya pake jeans. Asal tampilannya ya masih cukup pantes buat ngantor. Nggak trus ke kantor dengan penampilan kayak orang mancing. Menolak untuk berbeda dengan sembarangan juga egois menurut saya. Toh kita hidup di dalam sistem. Ya jangan melenceng-melenceng amatlah. Toleransi gak selalu berarti kehilangan jati diri lho. Yang pas aja porsinya. Gimana juga, kita gak mungkin nyenengin semua orang kok. Karena gak mungkin nyenengin semua orang, ya mending nyenengin diri sendiri kan? Kalo kita aja gak nyaman ama diri sendiri, gimana bisa bikin orang lain nyaman sama kita? Saya sih percaya, orang yang dekat dengan kita karena memang suka dengan kepribadian kita, lebih layak dipelihara daripada orang yang dekat dengan kita karena suka penampilan kita. Kalo kamu?
0 komentar